Oleh Ustadz Fahmi Suwaidi
Struktur Militer Utsmani dalam Laskar Diponegoro
Penjajahan Belanda di Nusantara selama 350 tahun tidaklah berlangsung
dengan mulus tanpa perlawanan. Bangsa Muslim yang memiliki kehormatan
dan harga diri ini tak henti-hentinya melawan. Jihad mempertahankan
negeri dari serangan penjajah kafir adalah jalan hidup mereka semenjak
dahulu kala. Tapi siapa sangka, ternyata pengaruh khilafah Utsmaniyah
sangat besar di dalamnya.
Salah satu perlawanan terbesar yang sangat merepotkan Belanda adalah
Perang Jawa (Java Oorlog) yang berlangsung dalam kurun 1825-1830.
Perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro ini berlangsung di
sebagian Pulau Jawa. Medannya membentang dari Yogyakarta di pantai
selatan hingga perbatasan Banyumas di barat dan Magelang di utara. Meski
wilayah ini relatif kecil dalam ukuran zaman sekarang, kawasan ini
adalah pusat kerajaan Jawa yang mulai digerogoti oleh kekuasaan Belanda.
Perlawanan ini berkobar lama dan berdarah, ratusan ribu korban jatuh,
terutama dari pihak Muslim. Belanda sendiri kehilangan ribuan prajurit
dan kasnya hampir kosong untuk membiayai perang. Belanda menghadapi
musuh berat yang menentangnya bukan semata sebagai kekuatan penjajah
yang merampas hak, namun sebagai kekuatan kafir yang membahayakan akidah
Islam.
Perlawanan Pangeran Diponegoro disusun dengan struktur militer Turki.
Nama berbagai kesatuannya merupakan adaptasi dari nama kesatuan militer
Khilafah Utsmani. Panglima tertingginya adalah Sentot Ali Basah,
adaptasi dari gelar Ali Pasha bagi jenderal militer Turki. Sementara
unit-unitnya antara lain bernama Turkiyo, Bulkiyo dan Burjomuah
menunjukkan pengaruh Turki. Bulkiyo adalah adaptasi lidah jawa bagi
Bölük, struktur pasukan Turki dengan kekuatan setara resimen. Sementara
jabatan komandannya adalah Bolukbashi.
Susunan militer khas Turki ini membedakan pasukan Diponegoro dengan
pasukan Mangkunegaran Surakarta yang menggunakan struktur legiun
(mengadopsi sistem Perancis). Juga berbeda dengan kesultanan Yogyakarta
yang menggunakan struktur bregodo (brigade, mengadopsi sistem Belanda).
Kiriman Senjata
Tak hanya struktur militer ala Turki, Belanda bahkan mencurigai bahwa
ada kiriman senjata dari Turki melalui pantai selatan Jawa. Karenanya
pantai yang menghadap Samudera Hindia ini dijaga ketat. Deretan benteng
kokoh dibangun Belanda menghadap lautan selatan. Sisanya antara lain
masih bisa ditemukan di Cilacap, Jawa Tengah, dan Pangandaran, Jawa
Barat. Penduduk lokal kini menyebutnya benteng pendhem (terpendam)
karena sebagian strukturnya terpendam di bawah tanah.
Tak cukup dengan benteng berbentuk tembok fisik, benteng mitos agaknya
juga dibangun oleh Belanda. Termasuk dengan menanamkan mitos tentang
keramatnya pantai selatan. Belakangan muncullah mitos tentang Ratu Kidul
yang hingga kini masih disembah dengan berbagai ritual oleh keraton
maupun penduduk pesisir selatan.
Mitos tentang pantai selatan itu membuat penduduk lokal selalu
dibayang-bayangi ketakutan pada kemurkaan Ratu Kidul. Mereka takut dan
enggan mengeksplorasi potensinya. Termasuk potensinya sebagai gerbang
hubungan internasional dengan dunia luar. Inilah yang diharapkan
Belanda, perjuangan Muslim di Nusantara terisolir dari dunia Islam.
Dugaan penciptaan mitos oleh Belanda ini tidak berlebihan. Di antara
program yang intens dilakukan oleh Belanda melalui sisi budaya adalah
nativikasi. Upaya mengembalikan penduduk Muslim di Nusantara pada
kepercayaan dan agama “asli” atau lokal. Program inilah yang mendorong
Belanda tak segan mengeluarkan dana besar untuk mengkaji naskah-naskah
kuno yang kini kebanyakan tersimpan di Leiden.
Hasil riset itu kemudian diwujudkan dalam tulisan-tulisan dan
kitab-kitab yang kerap menjadi pegangan kelompok Kejawen seperti
Darmogandhul dan Gathuloco. Isinya mengagungkan kehidupan Jawa
pra-Islam, melecehkan syariat Islam dan mempromosikan teologi Kristen
secara tersamar. Meski dianggap kitab kuno, penelitian sejarawan Muslim
seperti Susiyanto dari Pusat Studi Peradaban Islam menunjukkan bahwa
kitab-kitab itu dikarang pada era Belanda dan memuat ajaran teologi
Kristen.
Sisa Laskar Diponegoro
Setelah Perang Diponegoro berakhir dengan kemenangan Belanda, pesisir
selatan masih menjadi basis pasukan Diponegoro. Sisa-sisa laskarnya
menyebar di pesisir selatan Kebumen dan Purworejo. Mereka biasa
menyerang kepentingan Belanda di sekitar kota.
Oleh Belanda gerakan sisa laskar Diponegoro itu disebut sebagai para
kecu (perampok yang bergerak siang hari) dan rampok (biasanya bergerak
malam hari) yang terkenal di kawasan itu. Bisa jadi perkecuan dan
perampokan itu dilandasi semangat terus berjihad melawan Belanda serta
merampas ghanimah dan fa’i dari musuhnya. Wallahu a’lam
Sumber :http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/militer-khalifah-utsmaniyah-di-pasukan-diponegoro.htm#.ULlLQu_yCSo
0 komentar:
Posting Komentar